Insight

Sejarah Flanel, Dari Pakaian Kerja Hingga Jadi Fashion Pria Modern

Ada banyak item fashion pria yang lahir bukan dari dunia gaya, tapi dari dunia kerja keras. Jeans, boots, jaket denim—semuanya awalnya dibuat untuk bertahan di kondisi berat, bukan buat tampil kece. Dan flanel juga punya cerita serupa.

Hari ini, kita melihat flanel sebagai kemeja casual yang santai, identik dengan kopi senja, weekend outfit, atau gaya streetwear yang effortless. Tapi jauh sebelum jadi ikon mode, flanel adalah seragam sehari-hari para pekerja lapangan. Ceritanya panjang, hangat, dan surprisingly relevan sampai sekarang—apalagi buat pria yang suka pakaian yang fungsional tapi tetap berkarakter.

Yuk kita gali sejarahnya, tapi dengan gaya cerita yang enak dibaca, bukan seperti buku sejarah kaku.

Awal Mula: Flanel Lahir dari Kebutuhan, Bukan Tren

Kain flanel pertama kali muncul di Wales, Eropa, sekitar abad ke-17. Zaman itu, tekstil belum semodern sekarang, dan masyarakat butuh pakaian yang bisa melindungi mereka dari dingin, angin, dan kondisi kerja di lapangan.

Solusinya: kain wol yang kemudian diproses dengan teknik khusus bernama napping atau brushing.
Hasilnya? Permukaan kain jadi lembut, sedikit berbulu, dan lebih hangat.

Flanel masa awal bukan tentang “fashion”—ini tentang bertahan hidup dan kenyamanan saat bekerja.

Dari Petani & Buruh ke Dunia Industrial

Ketika revolusi industri mulai melaju pada abad ke-18 dan 19, flanel makin populer. Para pekerja pabrik, buruh kereta, sampai pekerja tambang menggunakan flanel karena:

  • Hangat,
  • Tahan lama,
  • Cukup fleksibel untuk bergerak,
  • dan nggak mudah robek.

Waktu itu, warna flanel cenderung solid dan gelap. Belum ada motif kotak-kotak yang sekarang jadi ciri khasnya.

Flanel adalah working class hero—pakaian yang mewakili kekuatan dan ketahanan.

Masuknya Motif Kotak-Kotak: Ikon Baru yang Mengubah Segalanya

Motif kotak-kotak baru hadir ketika flanel mulai diproduksi massal dan masuk ke pasar Amerika. Brand seperti Woolrich mulai memperkenalkan buffalo plaid, yang akhirnya menjadi simbol dari “laki-laki pekerja hutan” di budaya Amerika.

Bayangin lumberjack dengan beard tebal, kapak besar, dan kemeja flanel merah-hitam—image itu begitu kuat sampai bertahan puluhan tahun.

Sejak momen itu, motif flanel identik dengan maskulinitas, kehangatan, dan kesederhanaan. Motifnya bukan hanya dekorasi; ia membawa cerita.

Era 90-an: Flanel Menjadi Fashion Alternatif Berkat Musik Grunge

Melompat ke tahun 90-an, flanel kembali mengalami kebangkitan—tapi kali ini bukan di hutan atau pabrik, melainkan di panggung musik.

Band-band grunge seperti Nirvana, Pearl Jam, hingga Soundgarden membuat flanel jadi simbol pemberontakan: anti-fashion yang justru jadi fashion. Gaya cuek, sedikit berantakan, tapi punya ekspresi kuat.

Flanel akhirnya meninggalkan stigma “pakaian pekerja” dan masuk ke dunia urban.

Dari sini, flanel jadi salah satu item yang disukai generasi muda.

Era Modern: Dari Utility Wear ke Lifestyle Fashion

Masuk ke era 2000-an hingga sekarang, flanel berubah lagi. Brand-brand fashion mulai memadukan flanel dengan:

  • bahan katun yang lebih ringan,
  • warna yang lebih variatif,
  • pola yang lebih stylish,
  • dan potongan yang lebih modern.

Bahkan banyak pria memilih flanel bukan karena dingin atau ingin tampil grunge—tapi karena nyaman dan simpel.

Di Indonesia sendiri, flanel berkembang dengan adaptasi iklim. Banyak brand mulai beralih ke flanel berbahan katun 100% yang:

  • adem,
  • breathable,
  • ringan,
  • dan cocok dipakai daily.

Karakter inilah yang membuat flanel nggak lagi hanya jadi outer untuk cuaca dingin, tapi jadi kemeja yang nyaman dipakai kapan saja.

Nuefelt dan Flanel Era Baru: Lebih Ringan, Lebih Adem, Lebih Dipakai

Setelah ratusan tahun perjalanan, bahan flanel terus berevolusi. Dari wol yang tebal, berkembang ke bahan campuran, hingga akhirnya hadir dalam bentuk modern yang sangat nyaman: flannel katun 100%.

Ini tipe flanel yang dipakai Nuefelt, yang punya karakter:

  • tekstur ringan,
  • adem,
  • sangat menyerap keringat,
  • makin lembut setelah dicuci,
  • dan diproduksi secara self-manufacture dengan jahitan rapi.

Kalau dulu flanel identik dengan cuaca dingin, era modern membuat flanel jadi versatile. Dan bahan katun membuatnya benar-benar relevan untuk pria Indonesia yang butuh kenyamanan, bukan hanya gaya.

Dengan bahan seperti ini, flanel akhirnya kembali ke akar sejarahnya: pakaian yang dibuat untuk bekerja, bergerak, dan dipakai seharian—tapi sekarang dengan sentuhan modern yang lebih stylish.

Kenapa Flanel Tetap Relevan Sampai Hari Ini?

Setelah ratusan tahun sejarah, satu hal nggak berubah: flanel selalu adaptif.

  • Dari cuaca dingin ke iklim tropis.
  • Dari pekerja hutan ke musisi grunge.
  • Dari seragam buruh ke item fashion sehari-hari.
  • Dari kain wol ke flanel katun yang breathable.

Dan flanel akan terus relevan karena ia selalu mengikuti apa yang dibutuhkan pria: kenyamanan, kepraktisan, dan gaya yang effortless.

Mungkin itu juga kenapa banyak pria modern merasa “klik” dengan flanel—karena ceritanya panjang, karakternya kuat, dan rasanya natural ketika dipakai.

Flanel Bukan Sekadar Kemeja, Tapi Warisan Panjang yang Terus Hidup

Kalau kita melihat ke belakang, perjalanan flanel itu luar biasa. Dari Wales, pabrik industri, hutan Amerika, panggung musik grunge, sampai lemari pria modern yang hidup di kota tropis—flanel selalu punya cara untuk bertahan dan berkembang.

Sekarang, dengan inovasi bahan seperti flanel katun 100% yang digunakan Nuefelt, flanel bukan hanya nostalgia. Ia menjadi pakaian yang nyaman, stylish, dan relevan dengan gaya hidup pria modern yang aktif, simple, dan butuh pakaian yang bisa dipakai sepanjang hari.

Flanel mungkin berubah rupa, tapi satu hal tetap sama:
Ia selalu dibuat untuk orang-orang yang bergerak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *